KEMERDEKAAN DALAM PENDIDIKAN
Sisca Sukmawati
Masih dalam suasana nasionalis meski tanggal 17 sudah terlewatkan, namun masyarakat masih semangat merayakan hiburan dan perlombaan sebagai bentuk untuk memperingati bulan kemerdekaan.
Kemerdekaan dalam bernegara hanya satu bagian saja dalam sejarah kehidupan kita. Ia merupakan momen dimana negara Indonesia terbebas dari belenggu penjajahan bangsa asing. Dalam Pembukaan UUD 1945 alinea pertama disebutkan, “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.”
Maka dari itu, rasa syukur atas kemerdekaan harus diaktualisasikan dengan karya mandiri dalam dimensi sosial global untuk bangsa. Karya yang dapat mengharumkan nama bangsa, karya yang membuat bangsa kita terhormat bukan karya yang membusukkan bangsa. Dalam hal ini, peran mahasiswa memiliki posisi strategis dan menentukan.
Mahasiswa mempunyai peran penting dalam menciptakan karya-karya baru itu demi terwujudnya cita-cita kemerdekaan bangsa Indonesia. Mereka adalah para pemikir dan pejuang masa depan. Mereka adalah aset negara dan mereka adalah "agent of change", yaitu di mana kaum muda yang mampu memicu terjadinya perubahan, kaum muda yang berani menantang status quo serta dapat menyebabkan krisis dalam rangka mendukung tindakan dramatis dan upaya perubahan. Mereka adalah generasi yang memiliki kemampuan untuk merevolusi bangsa menuju cita-cita kemerdekaan yang hakiki.
“Beri aku seribu orangtua, niscaya akan kucabut semeru dari akarnya. Beri aku 10 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia”, Ujar Soekarno.
Untuk mengaktualkan diri dalam kemerdekaan, seyogyanya kita sebagai mahasiswa harus memahami makna kemerdekaan dalam pendidikan masa kini. Karena pandangan itu dapat merubah mindset kehidupan akademik kita agar lebih bermakna dan bernilai.
PENDIDIKAN MASA KINI
“Guru yang tak tahan kritik boleh masuk keranjang sampah. Guru bukan dewa yang selalu benar dan murid bukan kerbau yang harus serba menurut.” (Soe Hok Gie)
Cukup menarik kutipan Soe Hok Gie tentang guru, karena memang faktanya hingga tahun 2016, beberapa tenaga pendidik di lembaga pendidikan selalu tidak tahan dengan kritikan, bahkan ada yang sampai mengharamkan mahasiswanya untuk menyampaikan kritik. Padahal kebenaran guru bukan hal yang absolute karena murid bukan kerbau yang harus serba menurut. Di lembaga pendidikan, benar atau salah bukan hal yang wajib ditempuh oleh peserta didik, melainkan sebagai sarana berproses dari pendidikan itu sendiri.
Kata dasar pendidikan adalah kata didik. Didik berarti memelihara dan memberi latihan tentang akhlak dan kecerdasan pikiran. Sedangkan Pendidikan memiliki arti proses pengubahan sikap tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan lathan.
Perlu digarisbawahi, kata pengubahan sikap tata laku seseorang --sejatinya output dari pendidikan-- itu 70 persennya adalah moral. Sementara lembaga pendidikan masa kini, mulai dari Sekolah Dasar hingga Perguruan Tinggi hanya merupakan sarana untuk melakukan ritual pengajaran tentang keilmuan atau materi semata, yang dikerangkeng dengan acuan angka dan IPK.
Lalu apa bedanya lembaga pendidikan masa kini dengan google jika mereka sama-sama bisa memberikan materi dan pengetahun? Jadi, tugas guru bukan hanya menjejalkan pelajaran, akan tetapi guru harus bisa menghidupkan pengetahuan.
Ternyata tingginya acuan IPK, dan tingginya KKM, ataupun nilai UN peserta didik tidak bisa dijadikan acuan tentang akhlak dan moral yang memadai.
Berdasarkan survey yang dipublikasikan oleh Komisi Perlindungan Anak (Komnas-pa) pada tahun 2012 yang melakukan survey di 17 kota besar di Indonesia dengan koresponden 4700 remaja jenjang pendidikan SMP hingga SMA, terdapat 62,7% remaja sudah pernah melakukan hubungan seks pranikah dan 21,2% dari jumlah tersebut melakukan aborsi.
Sungguh Ironi, ada yang salah dalam pendidikan sekarang ini. Bahkan dengan diterapkannya kebijakan Permendikbud No 23 Tahun 2017 tentang 5 Hari Sekolah atau yang familiar disebut sistem Full Day School yang pada satu hari siswa wajib belajar 8 jam. Meski siswa semakin banyak menghabiskan waktu di lembaga pendidikan, akan tetapi seringkali faktanya moral peserta didik masih selalu dipertanyakan. Pendidikan di Indonesia ternyata belum merdeka, mungkin semi merdeka.
Hemat penulis, kemerdekaan dalam pendidikan yaitu di mana para peserta didik, terutama mahasiswa bebas mengemukakan pendapatnya tanpa rasa takut, terbebas dari mindset angka sebagai acuan kecerdasan seseorang dan bebas untuk berpikir kreatif tanpa system ataupun kebijakan yang mengkerdilkan mereka. Dan, lembaga pendidikan yang merdeka manakala lembaga mampu mencetak peserta didik yang berakhlak dan berkarakter, bukan lembaga pendidikan yang berubah menjadi perusahaan pencetak uang. Kemudian jika sudah seperti itu, tinggal tunggu lahirnya generasi pencipta, mereka yang akan mengharumkan Indonesia dengan karya.
Sebagai penutup saya akan mengutip cuitan Najwa Shihab, “Hanya pendidikan yang bisa menyelamatkan masa depan. Tanpa pendidikan, Indonesia tak mungkin bertahan.”
Merdekalah Mahasiswa!
Merdekalah Pendidikan!
No comments:
Post a Comment