PERISTIWA TASIKMALAYA 1996 - PMII KOTA TASIKMALAYA

Breaking

Post Top Ad

Responsive Ads Here

Post Top Ad

Responsive Ads Here

Wednesday, 8 July 2015

PERISTIWA TASIKMALAYA 1996


Nama Tasikmalaya tiba-tiba saja menjadi terkenal. Kota yang punya 925 pesantren dan dikenal adem ayem itu 26 Desember 1996 bergolak -- bermula dari penganiayaan terhadap seorang ustadz dan dua muridnya oleh empat oknum polisi di Mapolres. Pertanyaan pun muncul: mengapa Tasikmalaya bergolak? Mengapa Tasikmalaya? Siapa pemicu kerusuhan?

KRONOLOGIS :

9 Desember 1996
Rizal, anak Kopral Kepala Pol Nursamsi yang menjadi santri di Pesantren Riyadhul Ulul Wadda, Condong Setia, Negara Cibereum, diduga mencuri barang milik santri dan kas (keuangan) Ponpes. Tiga santri senior, memberikan hukuman dengan merendam kaki Rizal (sebatas lutut) di kolam pesantren. Nursamsi keberatan atas hukuman itu dan menyampaikan hal itu kepada rekan-rekannya di Polres.

20 Desember 1996
Pimpinan pesantren Condong Cibereum dipanggil ke Polres untuk mengadakan pembicaraan kasus tersebut. Permasalahan tersebut dinyatakan selesai tetapi dalam hal ini Kapolres tidak mengetahui adanya pemanggilan itu. 21 Desember 1996 Nursamsi kembali memanggil Pimpinan Ponpes Condong Cibereum, K.H. Mahfud Farid, Habib, dan Iksan. Pada saat santri Habib dan Iksan serta KH Faridmasuk ke Mapolres di depan penjagaan, santri Habib langsung dipukul oleh Nursamsi (ayah Rizal). Merasa anak didiknya dipukul, KH Mahfud Farid iku melerai dan menangkis pukulan Kopka Nursamsi. Hal ini malah dianggap sebagai upaya melawan petugas Polres. Selanjutnya tiga orang tersebut dibawa ke ruang pemeriksaan, sedangkan ajengan Ate dari Ponpes Cilendek sempat melihat kejadian tersebut dan melaporkan peristiwa itu kepada pejabat Pemda setempat. Wakil Bupati H. Oman Roesman memerintahkan Kabag Ketertiban Itang untuk melaporkan kasus tersebut ke Kakansospol M. Suherman untuk dilakukan pengecekan.


24 Desember 1996
Karena terlalu banyak santri yang menengok ke rumah sakit, maka untuk sementara perawatannya dialihkan ke Dr. Lukmantara.


25 Desember 1996
Tersiar isu bahwa pimpinan ponpes dan santri lurah meninggal dan muncul selebaran gelap isinya agar mengajak doa bersama di Masjid Agung. Sementara itu empat oknum polisi yaitu Kopka Nursamsi, Serda Pol Agus Kartadinata, Serda Pol Agus Julianto, Serda Pol Dedi diserahkan ke Den Pom Garut.

26 Desember 1996
Pukul 08.00 para santri berdatangan ke Masdjid Agung Pukul 10.00, para santri dianjurkan masuk ke Masdjid Agung. Pukul 13.30 setelah para santri bubar dari Masdjid Agung, langsung bergabung dengan massa yang telah melakukan unjuk rasa. Pukul 14.00 para pimpinan Ponpes dan Muspida diundang bermusyarawah di Pendopo diterima oleh Dan Rem 062. Dalam pertemuan itu KH Asep dan KH Didi menganjurkan agar para pimpinan Ponpes membantu Bupati. Pukul 15.00 bantuan keamanan dari Yonif 301, 303, 321 dan 323 didatangkan untuk memulihkan keamanan. Pukul 21.00 situasi di dalam kota Tasikmalaya dapat dikendalikan aparat keamanan.


Analisa
Tasikmalaya memang bak 'anak baik-baik', meski usianya sudah 185 tahun. Kota yang memiliki 64.233 santri dan 1.413 kiai di 925 pesantren itu telah 11 tahun berturut-turut menempati urutan pertama di Jabar dalam hal pengumpulan zakat fitrah. Daerah yang dikenal sebagai basis tukang kredit di seluruh Indonesia itu juga telah empat kali menyabet penghargaan Adipura. Selangkah lagi, Tasikmalaya akan meraih Adipura Kencana -- lambang supremasi tertinggi dalam kebersihan kota. Soal kerukunan beragama pun Tasikmalaya tak pernah menyimpan masalah, meski jumlah muslim di Tasik, mencapai 99,07 persen, atau 1.809.434 orang. Sementara pemeluk non-Islam meliputi: Katolik 2.821 orang, Protestan 4.355 orang, pemeluk Hindu 143 orang, penganut Budha 3.736 orang. "Selama ini memang tak ada masalah," ujar mantan Ketua Badan Musyawarah Antargereja (BAMAG) Tasik, Pendeta Cornelius Eddy.

Secara ekonomi Tasikmalaya pun berkembang wajar. Walaupun laju pertumbuhan ekonomi tak setinggi angka pertumbuhan nasional cuma 6,06 persen per tahun Tasikmalaya mulai menggeliat. Indikator yang gampang dilihat adalah menjamurnya bank di jalan-jalan protokol seperti Jl. H.Z. Mustofa tempat kerusakan terparah. Hingga kerusuhan 26 Desember 1996 ada 61 Bank di antaranya adalah 18 cabang bank umum. Selain itu ada delapan cabang perusahaan asuransi yang menyerbu Tasikmalaya. Sejumlah departement store terkemuka juga ikut berebut kue bisnis di Tasikmalaya. Contohnya Yogya, Matahari, Ramayana.

Perkembangan Tasikmalaya -- dengan segala kelebihan dan kekurangannya - ini tak memuaskan semua kalangan. Selama tahun 1996 saja, tanpa disadari banyak pihak, ada tiga masalah sebagai 'bara dalam sekam' bagi kota yang memiliki penganggur terdaftar di Depnaker sebanyak 7.479 orang itu.

Tiga masalah itu, menurut catatan Republika meliputi relokasi Pasar Baru, sengketa tanah dan bangunan Hotel Priangan antara pribumi dan non-pri, dan berlarut-larutnya masalah pencemaran limbah pabrik sabun.

Dalam relokasi Pasar Baru ini, masyarakat -- terutama para pedagang -- menilai pihak Pemda setempat lebih memihak kepada kelompok nonpri. Mengapa demikian? Para pedagang pribumi umumnya kecewa soal penempatan mereka di lokasi baru.

Kios-kios strategis ternyata banyak dihuni kelompok nonpri. Sedangkan kelompok pribumi mendapat kios yang kurang baik. Mereka menuduh telah terjadi kolusi pejabat Pemda Tasikmalaya dengan pengusaha nonpri. Para pedagang telah beberapa kali menyampaikan keluhan tersebut. Namun tanggapan yang diterima tidak memuaskan. Bahkan mereka sempat mendatangi DPRD Tk I Jabar untuk mengungkapkan keluhannya.

Kasus kedua yaitu soal sengketa tanah dan bangunan Hotel Priangan. Kasus yang melibatkan pengusaha pribumi dan nonpri ini bahkan harus sampai ke Meja hijau, dengan keputusan hakim yang memenangkan pengusaha nonpri. Para mahasiswa dan pemuda Tasikmalaya ternyata cukup solider menanggapi kasus ini. Setiap kali kasus ini disidangkan di pengadilan, ratusan mahasiswa dan pemuda menggelar aksi unjuk rasa.

Kasus ketiga tentang pencemaran limbah pabrik sabun Palem. Pencemaran ini sempat diprotes masyarakat setempat beberapa kali. Namun protes tersebut tetap tidak membuahkan hasil dan pencemaran terus berlangsung.

Maka, ada kaitannya atau tidak, Pangdam III Siliwangi Mayjen Tayo Tarmadi menilai, kerusuhan beberapa waktu lalu telah dimanfaatkan oleh orang-orang yang tidak puas terhadap kebijakan publik yang diambil Pemda Tasik. Itu membuat kerusuhan makin melebar -- jauh dari persoalan kemarahan terhadap oknum polisi.

Munculnya ketimpangan sosial dan kebijakan publik yang menciptakan kelompok masyarakat yang merasa diperlakukan tidak adil, menurut Tayo,"Dapat diibaratkan sebagai tunas dari berbagai kemungkinan timbulnya kerusuhan atau chaos. Apalagi jika Pemda tak melakukan pembenahan kebijakan. "Hendaknya, kita camkan bahwa keberhasilan pembangunan itu seyogyanya tidak menimbulkan kesenjangan terlalu jauh antara berbagai kelompok masyarakat. Kebijakan publik, hendaknya juga jangan menciptakan terbentuknya kelompok masyarakat yang merasa diperlakukan tidak adil," ujar Tayo.

Penilaian senada datang dari Komnas HAM. Menurut Komnas HAM, kerusuhan itu ada kaitannya dengan kesenjangan sosial dan ketimpangan dalam pengambilan kebijakan publik yang dilakukan Pemda setempat. "Kerusuhan itu terjadi antara lain karena adanya kesenjangan sosial. Masyarakat sebagian besar merasa ada sebagian kecil masyarakat yang ekonominya lebih baik, dan di antara mereka kurang diadakan interaksi," ujar salah seorang anggota Komnas HAM Albert Hasibuan.

Indikasi itu diperkuat dengan data para pelaku kerusuhan. "Sudah jelas bahwa kebanyakan para pelaku kerusuhan ini adalah para pengangguran dan garong," kata Tayo. Baik Pangdam III/Siliwangi maupun Gubernur Jabar Nuriana menolak keterlibatan para santri dalam kerusuhan ini.
Berdasarkan data yang dimiliki Tayo, dari 173 pelaku yang ditangkap, sebanyak 128 orang adalah pengangguran dan garong. "Mereka mempunyai waktu dan melihat ada kesempatan untuk mengambil keuntungan sembari melakukan perusakan," jelas Tayo. Maka, di keramaian massa yang mengamuk Kamis itu, 128 orang itu ditangkap ketika sedang memunguti barang-barang di toko yang mereka hancurkan.

Tapi mungkinkah, kalangan pengangguran itu mampu menggerakkan massa --yang menurut perhitungan petugas mencapai sekitar 20 ribu? "Siapa pun mereka, mereka memahami psikologi massa," ujar Tayo. Menurut jenderal yang hobi bertani itu para pelaku kerusuhan juga memakai taktik hit and run. "Setiap kali didesak aparat keamanan mereka mundur dan muncul lagi di tempat yang lain. Kita masih mencari siapa yang menjadi penggerak massa ini," jelas Tayo.

Dandim 0612 Tasikmalaya Letkol Uyun M. Yunus mengakui, banyak titik rawan di wilayahnya. Selanjutnya ia menuduh, "Kota Tasik termasuk daerah rawan gerakan politik garis keras." Sebagai bukti ia menyebut potensi sisa-sisa gerakan pada masa lalu, yang hingga kini menjadi bahaya laten di wilayah Priangan Timur --Tasikmalaya, Garut, Ciamis. Apakah yang ia maksud wilayah itu merupakan bekas basis Darul Islam pimpinan Kartosuwiryo? Apa yang ia maksud dengan gerakan politik garis keras?

Sumber :
1. Tulisan Mengenai Peristiwa Kerusuhan Tasikmalaya 1996
2. Koran Tempo Online
3. Penulis Blogger 
4. Penulis Blogger 2

No comments:

Post a Comment

Post Top Ad

Responsive Ads Here